Catatan Dr. Suriyanto PD, SH, MH, M.Kn.
Rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana berjalan panas. Bahkan, Mahfud secara spontan melontarkan pernyataan markus alias makelar kasus di hadapan para anggota Komisi III DPR RI.
Rapat yang berjalan panas ini membahas terkait transaksi janggal Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Seharusnya, rapat tersebut juga dihadiri Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Namun, yang bersangkutan absen lantaran tengah kunjungan kerja ke Bali.
Dalam RDP tersebut, Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu melontarkan sindiran dan membuat sejumlah anggota Komisi III DPR RI yang mengikuti rapat pun naik pitam. Tak pelak, Mahfud pun dihujani interupsi.
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan memperingatkan soal adanya ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun bagi pelanggar pelanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, tepatnya mengenai kewajiban merahasiakan dokumen tentang kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Arteria Dahlan menyinggung adanya ancaman pidana tersebut saat rapat kerja antara Komisi III DPR RI dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK.
Arteria Dahlan memperingatkan ketentuan adanya ancaman pidana kepada setiap orang, tak terkecuali kepada Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan atau Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Keuangan Sri Mulyani
Jika kita cermati, pernyataan Arteria Dahlan tersebut sangat tidak tepat, dan tidak mencerminkan wakil rakyat yang seharusnya memberi edukasi politik melalui komunikasi politik yang baik, sejuk dan santun. Pernyataan Arteria, bisa mempengaruhi atmosfir kehidupan politik di tanah air.
Di sisi lain, gaya komunikasi politik Arteria Dahlan, bisa menjadi pemicu kegaduhan politik, yang bisa beribas pada tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR.
Pernyataan yang menurut saya kurang pantas. Dinamika dan implikasi etika komunikasi tersebut semakin tampak kurang terarah. Walaupun niat, tujuan dan hasilnya baik, jika caranya tidak baik, maka tetap bernilai tidak baik.
Saya menyayangkan dan mengecam cara Arteria Dahlan dalam berdebat dengan Prof. Mahfud, yang tidak hanya miskin argumentasi namun juga miskin etika dan etiket. Penampilan Arteria merefleksikan ketidakmengertiannya akan tiga kaidah penting yang mesti dipatuhi dalam retorika, sebagaimana diuraikan oleh filsuf Yunani Aristoteles: ethos, pathos, dan logos.
Sebagai anak bangsa, yang mencintai negeri ini, saya mengimbau Arteria untuk belajar etika dan ilmu retorika agar mengerti cara berdebat dengan benar dan dengan jiwa yang bersih agar menyejukkan kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia ini. Demokrasi akan kehilangan kesejukannya jika dunia politik diisi oleh anggota dewan yang terhormat semacam Arteria Dahlan ini.
Kendati memiliki hak imunitas, bukan berarti seorang anggota DPR dapat sesuka hati bersikap dan mengeluarkan pendapat kontroversial yang berpotensi membuat publik gaduh.
Pernyataan politisi PDI Perjuangan terhadap Mahfud MD, menambah panjang kontroveri yang dilakukan Arteria. Pada 2019 ia juga pernah menyebut ekonom Emil Salim sesat ketika keduanya berdebat dalam acara talk show di salah satu stasiun televisi. Saat itu Arteria menunjuk-nunjuk Emil Salim ketika mantan menteri era Soeharto itu menyampaikan argumen bahwa KPK menyampaikan laporan pertanggungjawaban setiap tahun.
Saat itu Arteria berdalih tindakannya itu karena menyampaikan hal benar. Bahkan ia juga sangat menyayangkan acara tersebut mendatangkan Emil Salim. Apa yang disampaikan Arteria, memperlihatkan betapa tidak sedikit dari pejabat-pejabat di Indonesia yang gagal berkomunikasi dengan benar.
Kendati pada akhirnya Arteria meminta maaf atas pernyataan kontroversialnya, namun dampak buruk yang kadung diakibatkannya, belum tentu hilang begitu saja.
Mengutip Deddy Mulyana dalam bukunya Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar (2019), dampak komunikasi itu bersifat irreversible. Artinya, dampak komunikasi itu tidak dapat atau sulit ditarik kembali.
Semoga ke depan, pejabat publik, tokoh politik bisa lebih arif lagi dalam berkomunikasi, sehingga bisa memberi ruang edukasi yang sejuk dalam perpolitikan di tanah air.
Semoga
*) Suriyanto PD, SH, MH, M.Kn, Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia
Editor: Jagad N