Scroll untuk baca artikel
OPINI

Hindari Penyalahgunaan Medsos, Perlu Literasi Moral, Hukum dan Teknologi

137
×

Hindari Penyalahgunaan Medsos, Perlu Literasi Moral, Hukum dan Teknologi

Sebarkan artikel ini
Gambar Ilustrasi
Example 728x250

Catatan Risdiana Wiryatni *)

Pemerintah telah mengintensifkan kegiatan kepolisian siber. Keputusan tersebut diambil, mengingat akhir-akhir ini banyak bermunculan pernyataan ujaran kebencian di media sosial. Terlebih mendekati Pemilu 2024 mendatang.

Saat ini demokrasi di Indonesia berkembang secara dinamis. Di berbagai tingkat perkembangannya terbukti rentan terhadap ujaran kebencian dan efek negatifnya. Kampanye Pemilu menyediakan lahan subur untuk ujaran kebencian dan hasutan kebencian, baik pejabat terpilih, partai politik, kandidat atau calon, masyarakat sipil termasuk penyebar ujaran kebencian serta efek menguatkan yang dimiliki oleh media massa, terutama media sosial.

Persaingan politik untuk mendapatkan suara terbanyak dan memenangkan kompetisi politik dalam Pemilu ini tentu menjadi hal yang wajar. Harapannya, setiap peserta pemilu dapat menggunakan cara-cara yang sehat untuk memenangi kompetisi politiknya. Sayangnya, tidak semua peserta menggunakan cara aman dan sehat untuk berkompetisi. Banyak yang kemudian menggunakan cara–cara kotor untuk memenangi pemilu. Salah satunya cara kotor yang digunakan adalah ujaran kebencian (hate speech) yang sudah menjadi satu strategi yang digunakan dalam berpolitik.

Ujaran kebencian ini pada umumnya disebarkan melalui media sosial dan dengan cepat dapat menyebar, sehingga menimbulkan informasi yang keliru, dan pada akhirnya menimbulkan prasangka yang salah. Hal ini terjadi karena negara terlambat memberikan respon melalui regulasi-regulasinya bagi perkembangan teknologi-informasi, terutama media sosial yang menjadi penyemaian berbagai ujaran kebencian.

Selain itu, maraknya berita hoaks, juga turut mewarnai perjalanan demokrasi kita. Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hoaks ini dengan cepat menyebar melalui media sosial seperti facebook, intstagram, whatsapp, twitter, juga media sosial lainnya, dan dengan sengaja disebarkan untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Hoaks ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa berita atau informasi tersebut memang benar adanya. Ini artinya, hoaks sebenarnya merupakan ancaman bagi partisipasi warga dalam proses demokratisasi.

Adanya potensi hoaks maupun ujaran kebencian dalam pemilu memiliki dampak signifikan yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihannya. Untuk itu, munculnya ujaran kebencian dan hoaks dinilai menjadi ancaman bagi generasi muda untuk dapat memilih secara rasional dan cerdas. Hal ini menjadi mengkhawatirkan karena bisa jadi masyarakat akan mempercayai ujaran–ujaran kebencian dan berita bohong, kemudian pada akhirnya mereka memilih calon yang salah atau tidak layak.

Kesalahan bisa saja terjadi karena mereka belum memiliki informasi menyeluruh, sehingga dengan mudah mereka berprasangka dan mungkin juga ketidakpercayaan terhadap calon yang diberitakan bohong.

Golongan yang rawan menjadi korban hoaks dan ujaran kebencian tentunya adalah pemilih pemula. Pemilih pemula masuk dalam kategori remaja tahap akhir, usia mereka berkisar dari 17–21 tahun. Pemilih pemula yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya merupakan golongan yang rawan terimbas oleh hoaks dan ujaran kebencian, karena informasi yang mereka terima belum banyak dan mereka juga termasuk dalam kategori usia pencarian jati diri sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh sesuatu yang belum tentu benar.

Pada usia yang masih remaja, kebutuhan menggunakan media social juga tidak dipungkiri lagi, kebutuhan akan rasa ingin tahu juga menjadi alasan utama penggunaan media social ini. Sebagai generasi penerus bangsa dan agent of change, seharusnya pemilih pemula dapat menggunakan hak pilihnya secara rasional, bukan menjadi pemilih yang irasional karena adanya ujaran kebencian dan hoaks ini.

Pencegahan ujaran kebencian maupun hoaks bisa dimulai dari masing-masing individu. Secara internal individu bisa memulainya dengan cara selalu memperbaiki diri. Sedangkan secara eksternal, individu harus memperhatikan lingkungan sembari tak bosan selalu mengingatkan teman untuk tidak melakukan ujaran kebencian.

Cara menghadapi ujaran kebencian

Berikut ini adalah 9 cara menghadapi ujaran kebencian. Pertama, menyadari kesalahan, bertanggung jawab pada pernyataan sendiri, dan memohon maaf apabila ada salah. Kedua, menyebarkan pikiran positif, meluaskan pandangan tentang banyak hal, dan jangan menyebarkan nilai-nilai kebencian.

Pikiran positif mengandung nilai-nilai positif seperti optimisme dan kerja keras, integritas dan kejujuran, toleransi dan perdamaian, solidaritas dan kebhinekaan.

Kemudian yang ketiga, tabayyun atau konfirmasi. Jika terjadi ujaran kebencian, maka sebaiknya lebih mendahulukan respon bukan reaksi, meneliti dan menyeleksi setiap berita atau informasi, dan tidak tergesa-gesa memutuskan. Keempat, respek atau menghormati orang lain.

Yang kelima, hindari konfrontasi dan ciptakan kegiatan yang positif. Selain itu juga menghindari perdebatan yang berlebihan dengan cara mengontrol emosi dan sebaiknya meninggalkan forum atau lawan bicara bila memungkinkan.

Selanjutnya cara keenam, yakni track ID media sosial kemudian blokir. Dalam hal ini harus diingat bahwa media sosial itu komunikasi berbentuk tulisan, sehingga ada kecenderungan orang berlindung di balik nama anonim atau nama palsu. Cara ketujuh, lakukan screenshoot sebagai langkah pembuktian.

Kedelapan, pelajari etika dunia maya, dan kesembilan lakukan penegakan hukum, namun sebelumnya upayakan langkah mediasi. Upaya hukum merupakan langkah terakhir jika upaya lainnya tak mungkin lagi dilakukan.

 

Foto : Risdiana Wiryatni

*) Pemimpin Umum/Perusahaan Kinerjaekselen Group.

Respon (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Example 728x250 Example 728x250