Makassar, Sudutberitanews.com – Ma’REFAT Institute kembali mengadakan diskusi rutin yang bertajuk Ma’REFAT Informal Meeting (REFORMING#6), dengan menghadirkan dua Pemantik diskusi yakni Prof. Dr. Muhammad Alif K.Sahide yang merupakan Akademisi dan Guru Besar Universitas Hasanuddin serta Muadz Ardin S.P., M.P sebagai Direktur LINGKAR (Lembaga Inisiasi Lingkungan dan Masyarakat), REFORMING kali ini dikemas dengan tema “Telaah Atas Krisis Lingkungan dan Fenomena Bencana di Sulawesi Selatan.”
Diskusi dipandu oleh Rahmadi Nurdin sebagai moderator, dengan memberikan gambaran umum bahwa berbicara mengenai lingkungan ataupun krisis lingkungan, mempunyai cakupan yang cukup luas, dan dari setiap lingkungan yang tidak terkelola dengan baik tentunya bisa berefek bencana.
Kesempatan pertama diberikan kepada Prof Alif. Beliau mengawali penjelasannya dengan membagi tiga poin penting mengenai lingkungan.
Poin Pertama, menyangkut kondisi politik yang mempengaruhi kebijakan lingkungan secara nasional. Pada bagian ini beliau menjelaskan histori tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), terkait Kawasan Hutan yang mana penentuan kawasannya sejak era orde baru hanya berdasarkan kriteria fisik saja. Kriteria ini mengabaikan kriteria hutan yang dimiliki masyarakat, sehingga terkadang kebutuhan masyarakat pada hutan tidak terakomodasi dengan baik.
Adanya ketimpangan pengelolaan lahan atau kawasan hutan di mana porsi lebih banyak diberikan ke perusahaan dibanding masyarakat setempat atau masyarakat adat setempat. Sehingga dari beberapa catatan dan fenemona tersebut, kita sepertinya mengalami “Politik Keterlanjuran” ujar Prof. Alif, jika melihat kondisi saat ini.
Poin Kedua, Prof. Alif memaparkan terkait gerakan sosial, di mana hal ini berkaitan dengan pendudukan lahan, pengakuan kelembagaan adat serta penentuan Kawasan Hutan Adat.
Poin Ketiga, yang disampaikan beliau adalah kondisi wilayah Sulawesi Selatan sekarang ini, di mana harapan kita Sulsel ini tidak bernasib sama dengan Kalimantan dan Sumatera yang mengalami kerusakan lingkungan akibat eksploitasi pertambangan.
Kesempatan berikutnya diberikan kepada Muadz Ardin sebagai Pemantik berikutnya. Ia menjelaskan bahwa Krisis Lingkungan dan Kebencanaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Ketika ada kerusakan lingkungan maka salah satu efeknya adalah bencana, baik bencana sosial maupun lingkungan.
Dari beberapa data dan catatan, beliau menyajikan informasi bahwa para pakar dan para saintis memproyeksikan di tahun 2050 akan terjadi kenaikan suhu hingga 60 derajat.
Pada tahun itu juga, banyak negara lebih memilih mengelola SDA sendiri dibanding harus ekspor. Terkhusus kondisi di wilayah Sulawesi Selatan saat ini, terdapat 3 (tiga) DAS penting yang tutupan lahannya hanya mencapai 18% yang seharusnya 30%. Tentunya, ini bisa berdampak buruk, sambung beliau.
Dalam sesi interaktif, peserta mengajukan pertanyaan dan tanggapannya, terkait “politik keterlanjuran” dan upaya serius pemerintah Sulsel untuk menyelesaikan berbagai persoalan, khususnya mengenai krisis lingkungan. Apalagi hal tersebut juga termaktub sangat gamblang sebagai isu strategis permasalahan pembangunan dalam RPJPD Sulawesi Selatan.
Pada Sesi Akhir, Prof.Muhammad Alif berpendapat bahwa perlu ada upaya politik kolektif untuk menjaga lingkungan dengan kearifan lokal yang melibatkan berbagai stakeholder, termasuk para tokoh dan pemuka agama.
Sementara Direktur LINGKAR sendiri berpendapat, diperlukan adanya transfer pengetahuan terkait isu lingkungan ke berbagai lapisan masyarakat serta juga upaya pendampingan dan pelibatan masyarakat terkait hal-hal yang menyangkut dengan tata ruang.
Di penghujung acara, Direktur Eksekutif Ma’REFAT INSTITUTE Mohammad Muttaqin Azikin, menuturkan keresahannya merespon penyampaian paparan kedua pemantik mengenai kondisi krisis lingkungan yang dialami Sulawesi Selatan.
Ironisnya, sampai saat ini, publik belum pernah mendengar rencana dan langkah strategis yang disiapkan Pj. Gubernur dan Pemprov Sulawesi Selatan untuk mengantisipasi kemungkinan bencana yang terus mengintai. Padahal, Sulsel kini tengah dilanda kekeringan parah, dan beberapa bulan mendatang mesti bersiap lagi menghadapi “tragedi” banjir tahunan.
Sementara Pj. Gubernur Sulsel malahan lebih sibuk kampanye memprioritaskan penanaman pohon pisang. Tutup Muttaqin Azikin mengakhiri sesi diskusi REFORMING#6 sore itu.
[WHY]