Kutai Barat, SudutBerita News | Konflik tanah antara warga kecamatan Bentian Besar dan PT Tepian Indah Sukses (TIS) semakin memanas. Kelompok tani Jaga La’ang menegaskan tuntutan ganti rugi atas lahan 400 hektare yang telah digusur oleh PT TIS tanpa kompensasi. Sementara itu, manajemen perusahaan berdalih adanya klaim tumpang tindih lahan oleh pihak lain, yang dianggap sebagai strategi adu domba.
Ketua kelompok tani Jaga La’ang, Budi Hermanto, menegaskan bahwa klaim tumpang tindih tersebut hanyalah upaya perusahaan untuk memperpanjang penyelesaian dan mengakomodir pihak lain yang tidak memiliki bukti sah atas tanah tersebut. Mereka memiliki bukti surat dan fisik yang menunjukkan kepemilikan dan pengelolaan lahan selama bertahun-tahun.
“Bahwa lahan itu tumpang tindih itu asumsi mereka saja, intinya mereka (perusahaan) jadikan ini konflik, supaya nanti pembayaran itu diulur-ulur, seolah-olah masyarakat yang bermasalah.’ ujar Budi saat melakukan aksi Demo di titik nol area pertambangan PT TIS, Selasa (19/3/2024).
Baca berita terkait:
Warga Bentian Besar Melawan Eksploitasi Tambang Tanpa Kompensasi
Ketua PWRI Bogor Raya Desak Cabut PERBUP No. 60 Tahun 2023: Masyarakat Belum Siap Mengacu Pada DTKS

Menurutnya, jika dilakukan pembuktian di lapangan orang-orang yang mengklaim itu tidak memiliki bukti hak kelola yang sah. Bahkan dia menyebut ada mafia tanah dalam kasus ini.
“Mungkin ada mafia tanah di dalamnya, yang jelas kita tidak pernah menjual ini,” tegasnya.
Lebih lanjut Budi menyatakan, meski lahan yang dikelola masuk kawasan hutan, Budi menyatakan bahwa hak kelola dan tanam tumbuh harus tetap diakui dan dibayar oleh perusahaan.
Baca juga:
Walikota Eri Cahyadi Mendorong Kolaborasi Melalui Rapat Evaluasi ASN Setiap Pekan
Terkini di Kutai Barat : Nekat Beroperasi Siang Hari, Truk Koridor Terancam Denda Adat
Ancaman penutupan aktivitas perusahaan dilontarkan jika tuntutan ganti rugi tidak segera dipenuhi. Rencana penutupan itu dilakukan sejak demo 19 Maret, tetapi batal karena perusahaan berjanji untuk melakukan mediasi ulang di kantor Polres Kubar dalam waktu dekat.
”Tentu kita harapkan mediasi yang akan dilakukan di Polres itu ada penyelesaiannya,” ungkap Budi.
Manajemen PT TIS, diwakili oleh Wahyu Firanto, menegaskan bahwa perusahaan bekerja sesuai dengan izin resmi dan memiliki tanggung jawab terhadap target dan rencana kerja. Namun, pembayaran ganti rugi belum dapat dilakukan karena adanya klaim tumpang tindih lahan oleh pihak lain.
“Persoalan klaim ini dinamis ada dari pihak kelompok yang pernah dulu menerima kompensasi tahun 2005-2006, lalu ada dari kelompok Pak Lirin, ada kelompok dari kaka Ngale atau yayasan, baru-baru ini ada lagi kelompok tani dari Suakong,” jelas Wahyu.
Baca juga :
Bupati Bojonegoro Ajak Kepala Desa Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Dana Desa
Melalui PP 96/2021, Bahlil Sebut RI Bisa Kuasai Saham Freeport 61 Persen

Wahyu mengaku, perusahaan tidak punya kewajiban mengganti rugi lahan di kawasan hutan.
”Ya kami sebenarnya tidak ada kewajiban memberikan ganti rugi. Tetapi ada kebijakan yang diberikan tentu melalui kecamatan karena kami sudah menyurati kecamatan di tahun 2023 untuk membentuk tim. Nah tim ini yang melakukan fasilitasi. Berdasarkan rekomendasi dari mereka tentu itu yang kami nanti berikan kompensasi, bukan ganti rugi,” ujarnya.
Wahyu menegaskan, Perusahaan berkomitmen untuk menyelesaikan masalah ini melalui mediasi yang difasilitasi oleh pihak berwenang.
“Kami tidak mau mengesampingkan hak-hak masyarakat, tetapi hak-hak masyarakat ini juga butuh pembuktian, Pembuktian ini wasitnya ada di pemerintah,” tandasnya.
Menurut Wahyu, penyelesaian harus mempertemukan semua pihak yang meng-klaim hak kelola lahan. Sebab apabila salah satu pihak dibayar belum tentu menyelesaikan masalah, karena pihak lain yang bersengketa atas lahan seluas 400 ha itu akan menuntut juga.
Di tengah perselisihan ini, mantan karyawan PT TCM, Kancilius, mengingatkan bahwa perusahaan memiliki kewajiban hukum untuk menyelesaikan ganti rugi tanah kepada masyarakat, sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan.
“Memang dalam Undang-undang kehutanan tahun 1999, itu kalau ada masyarakat yang merintangi jalan tambang, maka harus ditindak secara pidana. Tetapi ada Pasal 67 mengatakan bahwa ada permasalahan tanah harus diselesaikan dulu,” ucap Kancilius.
Baca juga:

Konflik ini menyorot kompleksitas penyelesaian klaim tanah dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam kegiatan pertambangan. Masyarakat dan perusahaan diharapkan dapat menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan melalui dialog dan mediasi yang konstruktif.
Paul/Red
Respon (3)