Kutai Barat, SudutBerita News | Bantuan pemerintah untuk perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) di Kampung Siram Makmur, Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Provinsi Kaltim, menuai kritikan. Bantuan yang semestinya diperuntukkan bagi rumah yang nyaris roboh, justru disalurkan ke rumah yang sudah layak huni.
Warga RT 02, Sumaryanto dan Suhartiah, adalah contoh konkret korban kebijakan ini. Rumah mereka yang dibangun lewat program transmigrasi tahun 1997 kini dalam kondisi mengenaskan, dengan lantai dan dinding yang mulai hancur. Namun, mereka tidak mendapatkan bantuan sama sekali.
“Sampai sekarang nggak ada bantuan sama sekali. Sampai hari gini masih rumah Transmigrasi. Selama di sini, keadilan yang ngga ada. Malah yang menerima bantuan ini orang berada,” kata Sumaryanto dan istrinya Watini, saat dikonfirmasi wartawan di Siram Makmur, Selasa (14/5/2024).
Berita terkait:
Ini Alasan Warga Siram Makmur Menyebut Proyek Dana Desa – ADK Mubazir dan Tak Sesuai Kebutuhan
Suami istri itu menunjukkan kondisi rumahnya beserta pagar yang sudah dimakan rayap namun belum bisa mengganti.
“Seharusnya yang dapat bantuan ini rumah tidak layak jadi layak huni. Kalau caranya kayak gitu rumah reot ya tetap reot terus yang bisa membangun cepat jadi. Sementara kita juga kepingin kayak gitu susahnya enggak ketulungan,” tambah Suhartiah tetangga satu RT.
Rumah tak layak juga terdapat di RT 03. Rumah yang isinya bak kapal pecah itu hanya menyisakan dinding keliling. Sedangkan kamarnya sudah hancur. Yuliana Sari dan suaminya mengaku selama ini hanya didata namun tidak pernah mendapat bantuan.
”Saya ngga dikasi padahal sama aja keadaan seperti ini. Orang-orang itu saya lihat pilih kasih di sini. Rumah dan hidup kami begini aja (kurang mampu) didata terus tapi nggak pernah ada apa-apa,” katanya.
Kondisi serupa dialami Yuliana Sari dari RT 03, yang rumahnya hampir runtuh. Sedangkan kamarnya sudah hancur. Yuliana Sari dan suaminya mengaku selama ini hanya didata namun tidak pernah mendapat bantuan.
”Saya ngga dikasi padahal sama aja keadaan seperti ini. Orang-orang itu saya lihat pilih kasih di sini. Rumah dan hidup kami begini aja (kurang mampu) didata terus tapi nggak pernah ada apa-apa,” kata Yuliana mengeluhkan bantuan tidak merata.
Baca juga:
Banyak Proyek Mubazir, Petinggi Siram Makmur Diduga Hamburkan Dana ADK dan DD Tanpa Manfaat
Ketua RT 4 dan RT 6, Benediktus Ben dan Sarbani, juga meratapi nasib serupa. Rumah mereka yang sudah berantakan tidak layak dari segi kenyamanan dan keselamatan, tidak masuk dalam daftar penerima bantuan.
“Untuk makan saja susah apalagi membangun rumah,” ungkap Sarbani.
Kesalahan pemahaman kepala desa, Pius Ola, tentang program RTLH semakin memperburuk situasi. Pius beranggapan bahwa yang harus dibantu adalah rumah yang sudah layak huni, bukan yang tidak layak huni.
“Jadi bunyinya itu rumah layak huni, boleh dibantu per rumah itu 10 juta. Jadi yang dibantu rumah layak huni bukan tidak layak huni, ada regulasinya. Bapak bilang rumah tidak layak huni dibangun untuk orang, pengertiannya jadi begini saya buat makanan tidak layak makan untuk dimakan orang,” jelas Pius menyalahartikan program untuk warga kurang mampu tersebut.
”Kalau ada aturan mengatakan bahwa membangun rumah tidak layak huni untuk dihuni, sama artinya dengan kita membuat makanan tidak layak makan untuk dimakan oleh balita. Regulasinya di sini jelas bantuan rumah layak huni bukan rumah tidak layak huni. Nah rumah layak huni itu bantuannya maksimal 10 juta maka sasarannya itu orang yang sedang membangun,” tambah Pius.
Baca juga:
Tim Tipikor Polres Kutai Barat Sita Aset Dugaan Tipikor DD Kampung Sirau Mahulu
Anggota Tekab 308 Reskrim Polres Lampura Kembali Sukses Meringkus Dua Pelaku Pencurian
Sementara menurut Kementerian Sosial, rumah tidak layak huni adalah yang tidak permanen, dengan dinding dan atap mudah rusak, lantai tanah atau rusak, dan tanpa fasilitas MCK. Sayangnya, kriteria ini diabaikan oleh Pius, menyebabkan bantuan tidak tepat sasaran.
Bukan hanya itu, ironisnya dengan pongahnya Pius malahan mengklaim dirinya sebagai orang terkaya di Siram Makmur, dengan gaya hidup yang semakin glamour setelah menjabat sebagai kepala desa.
“Kebetulan orang kaya di Siram Makmur ini hampir nggak ada, kalau ada yang bilang saya kaya mungkin saya satu-satunya. Karena saya pernah dibantu oleh petinggi sebelumnya saya tolak. Kalau ada yang bilang saya kaya saya aminkan dan mudah-mudahan benar,” klaim pria asal Lembata NTT tersebut.
”Sedangkan yang lain, warga saya ini saya akrab dengan mereka, saya cium aroma tubuh mereka saya tahu betul bau keringat mereka,” ujarnya.
Warga menduga ada penyalahgunaan dana desa, mengingat Pius mampu membeli mobil mewah dan tanah dalam jumlah besar setelah menjabat.
”Kita ngga pernah urus pribadi orang apa lagi iri dengan kehidupan Petinggi, mungkin itu rezekinya dia. Cuma yang kita lihat setelah jadi petinggi sekitar tiga tahun ini bisa beli mobil mewah, kalau ngga salah sudah 4 mobilnya. Ada juga beli tanah dan kebun sawit yang kami dengar itu sekitar 15 hektare,” imbuh seorang pria yang meminta namanya dirahasiakan.
Untuk itu mereka meminta Inspektorat, BPKP dan aparat berwajib mengaudit penggunaan dana desa di Siram Makmur. Lantaran selain RTLH yang tidak tepat sasaran, pengelolaan dana desa sekitar 7 Miliar rupiah sejak tahun 2021 banyak digunakan untuk program mubazir.
Masyarakat meminta agar Inspektorat, BPKP, dan aparat berwajib mengaudit penggunaan dana desa di Siram Makmur. Mereka menuntut keadilan dan transparansi dalam penyaluran bantuan RTLH, serta pengelolaan dana desa yang lebih efektif dan tepat sasaran.
Dengan kondisi yang memprihatinkan ini, warga Siram Makmur berharap agar pemerintah segera turun tangan memperbaiki kesalahan dalam distribusi bantuan, agar mereka yang benar-benar membutuhkan bisa merasakan manfaatnya.
Paul/Red
Respon (1)