JAKARTA – Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM), Dhahana Putra, menyatakan bahwa praktik penahanan ijazah oleh perusahaan yang berlaku dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) perlu mendapat perhatian serius dan regulasi khusus. Menurutnya, meskipun hal ini telah menjadi praktik umum, penahanan ijazah berpotensi melanggar hak tenaga kerja untuk mengembangkan diri dan mencari penghidupan yang lebih baik.
Dhahana mengakui bahwa saat ini, baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun peraturan teknis lainnya, belum ada pengaturan spesifik terkait penahanan ijazah. Kondisi ini memberi ruang bagi perusahaan untuk memasukkan persyaratan tersebut dalam proses rekrutmen tenaga kerja. Namun, Dhahana mencatat bahwa banyak keluhan masyarakat yang merasa hak mereka terbatas akibat kebijakan ini.
“Dalam perspektif HAM, penahanan ijazah bisa membatasi kebebasan individu untuk mengembangkan karirnya. Karena itu, ada urgensi untuk menyusun regulasi yang bisa mengisi kekosongan hukum ini,” ujar Dhahana.
Selain itu, Dia menegaskan perlunya kajian mendalam mengenai dampak penahanan ijazah, baik dari sisi tenaga kerja maupun perusahaan, sebelum merumuskan regulasi yang komprehensif.
Meskipun belum ada pengaturan hukum yang jelas, Dhahana mengimbau perusahaan untuk tetap menghormati hak asasi manusia para pekerjanya, termasuk hak untuk mengembangkan diri yang mungkin terhambat oleh penahanan ijazah.
“Perusahaan perlu mempertimbangkan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, setiap orang berhak memilih pekerjaan yang diinginkannya dan mendapatkan kondisi kerja yang adil,” tambahnya.
Di sisi lain, Kakanwil Kemenkumham Jatim, Heni Yuwono, mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini tengah mendorong pengarusutamaan bisnis dan HAM di Indonesia melalui Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Hal ini diharapkan dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan di kancah global.
Heni meyakini bahwa meningkatnya kesadaran global tentang hak asasi manusia akan mendorong perusahaan di Indonesia untuk lebih adaptif terhadap tren ini.
“Karenanya, kebijakan perusahaan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia harus dipertimbangkan dengan matang,” tutup Heni.
Redho/Red