Surabaya – Kasus pengeroyokan yang menimpa seorang siswa kelas XI di sebuah SMA swasta di Siwalankerto, Surabaya, mengundang keprihatinan mendalam.
Kejadian yang berlangsung pada Kamis (5/9/2024) ini bermula dari saling ejek antara korban, ALF, dengan teman sekelasnya, NV. Akibat insiden tersebut, ALF mengalami luka serius termasuk gegar otak ringan.
Yulianah Hutabarat, ibu korban, menjelaskan bahwa insiden tersebut dimulai ketika anaknya bercanda dengan NV di ruang kelas.
Candaan ini kemudian memicu NV untuk melaporkan ALF kepada kakak kelasnya, karena simbol perguruan silat yang berbeda ikut terlibat dalam candaan tersebut.
Tak lama setelah itu, ALF dijemput oleh NV dan temannya, ADT, dari rumahnya dengan dalih mengantar NV melakukan transaksi jual beli knalpot. Namun, ALF justru dibawa ke rumah seniornya, AP, di mana sekelompok siswa lainnya telah menunggu.
Di sana, ALF dipaksa meminta maaf dan dianiaya hingga babak belur.
Kekerasan terus berlanjut, bahkan saat ALF dipaksa menandatangani surat pernyataan di bawah ancaman pukulan di lokasi lain.
Korban akhirnya melapor ke polisi setelah kembali ke rumah dalam kondisi terluka parah.
Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa ALF mengalami gegar otak ringan, luka di bagian kepala, serta memar di wajah dan tubuh.
Kapolsek Wonocolo, Kompol M. Sholeh, menegaskan bahwa tiga dari tujuh pelaku pengeroyokan telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Balai Pemasyarakatan (Bapas) Surabaya, sementara empat lainnya masih berstatus saksi.
Pihaknya juga memastikan bahwa kasus ini murni kenakalan remaja dan tidak ada kaitannya dengan kelompok silat.
Namun, kasus ini memunculkan pertanyaan lebih dalam: Di mana peran sekolah dalam mencegah kekerasan ini terjadi? Apakah hanya dengan mengeluarkan pelaku dari sekolah cukup untuk menghentikan kekerasan semacam ini? Apalagi, korban kini mengalami trauma yang membuatnya enggan untuk kembali ke sekolah tersebut.
Redho/red