Kutai Barat — Pemanfaatan ilegal dua pelabuhan milik Pemerintah Kabupaten Kutai Barat untuk aktivitas tambang batu bara tanpa izin akhirnya terungkap. Tim gabungan Pemkab Kutai Barat melakukan inspeksi mendadak (sidak) dan menutup Pelabuhan Royok di Kecamatan Sekolaq Darat dan Pelabuhan Jelemuq di Kecamatan Tering, Jumat (20/9/2024). Penutupan ini dilakukan menyusul maraknya laporan mengenai penggunaan pelabuhan tersebut oleh penambang liar, yang dikenal masyarakat setempat sebagai “Koridor” atau tambang jalur koordinasi.
Langkah tegas ini diambil oleh tim yang terdiri dari Asisten II Setkab Kutai Barat, 40 anggota Satpol PP, Dinas Lingkungan Hidup, Inspektorat, Dinas Perhubungan, serta Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kutai Barat. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk upaya pemerintah untuk menghentikan aktivitas pertambangan ilegal yang merugikan pemerintah daerah.
Menurut Asisten II Setkab Kutai Barat, Rakhmat, pelabuhan yang ditutup tersebut adalah aset Pemkab yang harus dimanfaatkan sesuai dengan peraturan. “Agenda hari ini adalah penutupan bersama tim. Kami berharap tidak ada lagi aktivitas di area tanah Pemkab. Ini bukan hanya berlaku di sini, nanti Senin akan bergeser ke Pelabuhan Jelemuq,” ujarnya kepada wartawan.
Berita terkait:
Pemerintah Kutai Barat menyatakan bahwa penggunaan dua pelabuhan tersebut tidak memiliki izin resmi. PT. Perusda Witeltram, perusahaan daerah milik Pemkab Kutai Barat, sebelumnya sempat mengajukan izin penggunaan pelabuhan melalui BKAD, namun permintaan ini ditolak karena persyaratan yang diajukan dianggap tidak jelas. Kepala BKAD, Petrus, menegaskan bahwa izin hanya bisa diberikan jika seluruh syarat terpenuhi. “Mereka pernah meminta izin, tapi kami tidak pernah memberikan karena pemberian izin harus jelas, permintaan jelas, asal usulnya jelas. Itu tidak terpenuhi, oleh sebab itu sampai detik ini kami tidak pernah berikan izin,” tegasnya.
Baca juga:
Dugaan Pemanfaatan Ilegal Aset Pemkab
Berdasarkan data yang dihimpun, PT. Perusda Witeltram diduga menggunakan lahan Pelabuhan Royok dan Jelemuq tanpa izin resmi. Lahan tersebut seharusnya dicatat sebagai aset Pemkab Kutai Barat, namun dalam laporan keuangan unaudited tahun 2023, tidak ada catatan penyertaan modal dari Pemkab terhadap kedua lahan tersebut. Meskipun begitu, Perusda Witeltram sudah memanfaatkannya sejak Februari 2023.
Pada Mei 2023, Perusda mengajukan permohonan sewa lahan kepada Bupati Kutai Barat. Namun, permohonan ini ditolak oleh BKAD karena tidak dilengkapi data pendukung seperti identitas calon penyewa, jangka waktu, dan peruntukan sewa. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan aset daerah.
Baca juga:
Transaksi Mencurigakan
Meskipun permohonan sewa tidak disetujui, Perusda Witeltram tetap melanjutkan aktivitasnya dengan menyewakan lahan kepada dua perusahaan, PT. SAR dan PT. BRM. Dari hasil sewa ini, Perusda Witeltram memperoleh pendapatan sebesar Rp1,36 miliar selama tahun 2023.
Pendapatan tersebut diperoleh dari PT. SAR sebanyak Rp1,24 miliar dengan rincian pembayaran yang dilakukan secara berkala mulai dari Mei hingga Desember 2023. Sementara dari PT. BRM, Perusda mendapatkan Rp120 juta dalam dua kali pembayaran pada April dan Desember 2023.
Baca juga;
Penutupan ini menimbulkan spekulasi tentang siapa yang sebenarnya menikmati keuntungan dari aktivitas ilegal tersebut. Dengan pendapatan lebih dari Rp1,3 miliar, patut dipertanyakan bagaimana mekanisme pengawasan aset daerah dan siapa pihak yang memfasilitasi penggunaan ilegal ini. Pemerintah Kabupaten Kutai Barat menyatakan komitmen untuk mencegah penggunaan aset daerah secara tidak sah. Namun, fakta bahwa aktivitas ini bisa berlangsung selama hampir setahun tanpa tindakan menunjukkan adanya celah dalam pengawasan.
Kasus ini menyoroti perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap penyalahgunaan aset daerah serta transparansi dalam pengelolaan perusahaan milik daerah. Tanpa tindakan nyata, kasus seperti ini bisa kembali terulang dan merugikan masyarakat Kutai Barat.
Kris//red
Respon (1)