Takengon – Seorang wartawan berinisial BA akhirnya dibebaskan setelah menandatangani sebuah perjanjian damai yang ia klaim berat sebelah dan memaksanya tunduk pada kondisi yang merugikan.
BA, yang ditahan selama 26 hari atas tuduhan pemerasan, menyatakan bahwa ia terpaksa menandatangani perjanjian tersebut demi bisa berkumpul kembali dengan keluarganya, terutama anaknya yang sedang sakit.
Istri BA, NS, turut menyampaikan bahwa keluarga mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa.
“Kami terpaksa tanda tangan karena anak kami sakit dan sangat merindukan ayahnya. Tuduhan pemerasan ini sangat tidak benar,” ujar NS pasrah.
Perjanjian tersebut juga melarang BA untuk melanjutkan profesinya sebagai wartawan, dan mengharuskan BA membayar ganti rugi sebesar Rp 3 juta kepada istri Reje, yang diduga mengalami keguguran akibat pemberitaan BA.
“Saya merasa hak saya telah dirampas, dan tuduhan ini sangat tidak adil. Semua yang saya lakukan hanyalah menjalankan tugas sebagai jurnalis,” tegas BA.
Menurut BA, penahanan yang dialaminya dan tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini telah melanggar Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2022. Ia menambahkan bahwa tindakan Reje dan oknum polisi yang terlibat bisa dijerat dengan Pasal 318 KUHP tentang penyebaran tuduhan palsu serta Pasal 421 dan 422 KUHP terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh penyidik.
Kasus ini memunculkan pertanyaan lebih besar: Apakah seorang wartawan bisa dipidana atas pekerjaannya? Berdasarkan UU Pers, wartawan tidak dapat dipidana selama tindakannya sesuai dengan kode etik jurnalistik.
“Seharusnya, kesalahan pers diukur berdasarkan UU Pers, bukan melalui tindakan represif seperti ini,” tambah BA.
Kasus ini berawal ketika Reje Kampung Kala Pegasing melaporkan BA atas tuduhan pemerasan, setelah sebelumnya terjadi upaya kerja sama terkait klarifikasi berita yang dipublikasikan oleh BA. Namun, BA menegaskan bahwa pemberitaan tersebut murni jurnalistik, dan ia sama sekali tidak memiliki niat untuk memeras.
Penangkapan BA yang terjadi pada tanggal 2 September 2024 dinilai oleh keluarga sebagai tindakan berlebihan dan tidak berdasarkan fakta.
.
“Kami diperlakukan seperti teroris. Apakah ini keadilan?” tutup NS, dengan perasaan kecewa terhadap jalannya proses hukum.
Paul/red