Bengalon, Kutim – Supriyanto, yang akrab dipanggil Pak To, seorang warga Desa Sekerat, Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, menyampaikan kekecewaannya atas putusan Pengadilan Negeri Sangatta yang seolah mengabaikan haknya atas tanah seluas 21 hektar. Pak To menilai bahwa hukum di negeri ini hanya berpihak kepada kalangan pengusaha, sementara rakyat kecil seperti dirinya merasa ditindas dan tidak memperoleh keadilan.
Sengketa bermula ketika PT. Batuta Chemical Industrial Park (BCIP) mengklaim kepemilikan atas lahan sawah yang dikelola oleh Pak To sejak tahun 1991.
“Tanah ini sudah saya kelola sejak lama dan memiliki surat segel sejak 1991. Pada tahun 2004, PT. Kaltim Prima Coal (KPC) sempat menawarkan pembebasan lahan, tapi saya tolak karena harga yang ditawarkan tidak sesuai,” jelas Pak To.
Namun, pada tahun 2020, PT. BCIP tiba-tiba menggarap lahan tersebut dengan dalih sudah dibebaskan oleh PT. KPC, sebuah pernyataan yang dibantah oleh Pak To. Ia mengklaim bahwa surat segel asli lahan tersebut masih berada di tangannya, tanpa adanya bukti pembayaran yang sah dari PT. KPC.
Merasa haknya dilanggar, Pak To menunjuk kantor hukum Makmur Machmud & Associates untuk menggugat PT. BCIP melalui Pengadilan Negeri Sangatta. Gugatan ini didaftarkan dengan perkara nomor: 69/Pdt.G/2023/PN.Sgt, atas dugaan perbuatan melawan hukum terkait penguasaan lahan oleh PT. BCIP.
Dalam proses persidangan, Pak To berhasil menunjukkan Surat Keterangan Hak Milik Sawah yang didukung oleh kesaksian dari beberapa saksi. Sementara itu, pihak PT. BCIP gagal membuktikan penguasaan mereka atas lahan tersebut. Dari tiga saksi yang dihadirkan oleh PT. BCIP, hanya satu orang yang bersumpah, sehingga menurut kuasa hukum Pak To, kesaksian mereka dinilai lemah di mata hukum.
Namun, di luar dugaan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sangatta pada 25 April 2024 memutuskan untuk menolak gugatan Pak To. Majelis Hakim menyatakan bahwa penguasaan lahan oleh PT. BCIP dinyatakan sah berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh perusahaan tersebut.
Putusan ini menuai kritik dari pihak Pak To dan kuasa hukumnya. Mereka mempertanyakan dasar pertimbangan hukum majelis hakim yang merujuk pada keterangan saksi-saksi yang dinilai tidak memiliki kekuatan hukum.
“Bagaimana mungkin, saksi yang tidak bersumpah dan memberikan keterangan yang berbeda bisa menjadi dasar pertimbangan hukum majelis hakim?” tanya kuasa hukum Pak To.
Kasus ini memunculkan kekhawatiran akan adanya ketidakadilan di negeri ini, khususnya bagi rakyat kecil. Keadilan yang semestinya menjadi hak setiap warga, tampaknya masih menjadi barang mahal bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan ekonomi. Apakah ini cerminan bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas?
Paul/red