Catatan D. Supriyanto JN *)
Membaca berita dari media online, saya tersentak dengan pernyataan calon Wakil Gubernur (Cawagub) Jakarta nomor urut 01, Suswono yang menyarankan janda kaya menikahi pemuda yang menganggur atau tidak bekerja.
Pernyataan tersebut Suswono sampaikan dalam deklarasi dukungan Organisasi Masyarakat (Ormas) Bang Japar di Gedung Nyi Ageng Serang, Rasuna Said, Jakarta Selatan, pada Sabtu (26/10) lalu.
“Kemarin ada yang nyeletuk. Waktu dialog ini. Pak ada kartu janda enggak? Saya pastikan kalau janda miskin pasti ada. Tapi masa janda kaya minta kartu juga? Saya sarankan janda kaya tolong nikahi pemuda yang nganggur,” ujarnya.
“Setuju ya? Coba ingat Khadijah enggak? Tahu Khadijah kan? Dia kan konglomerat. Nikahi siapa? Ya, Nabi waktu itu belum jadi Nabi. Masih 25 tahun pemuda kan? Nah itu contoh kaya begitu,” tambahnya.
Ternyata, pernyataan Suswono itu pun berbuntut panjang dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Dia meminta maaf atas kegaduhan dari guyonannya tersebut dan mencabut pernyataannya itu.
Menurut saya, pernyataan yang mulia Suswono tersebut sudah kebablasan, dan jauh dari nilai-nilai kearifan. Seakan, dengan pernyataan tersebut, akibat perkawinan antara keluarga miskin dengan keluarga miskin yang lain, menjadi bagian dari persoalan bangsa ini. Demi menekan kemiskinan di negeri ini, banyak persoalan-persoalan yang harus diselesaikan pemerintah, bukan mempersoalkan siapa dan dengan siapa seseorang harus menikah.
Tak dipungkiri, persoalan kemiskinan ini, merupakan salah satu masalah yang dihadapi pemerintah dan masyarakat. Untuk menekan angka kemiskinan, seharusnya dibangun keselarasan antara pemerintah dan masyarakat melalui berbagai kebijakan yang bersentuhan langsung dan dapat dirasakan masyarakat.
Kita harus arif dalam melihat akar persoalan kemiskinan ini, meski hal itu tidak mudah dilakukan. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kemiskinan, diantaranya persoalan pengangguran yang semakin luas. Tingginya tensi ekonomi, sempitnya lapangan kerja menjadi penyebab banyaknya pengangguran, yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Bila pengangguran ini tidak disikapi, akan menggerus persoalan-persoalan sosial lainnya.
Faktor lain yang menjadi penyebab kemiskinan, adalah rendahnya pengelolaan pola pikir dan wawasan masyarakat. Faktor ini, juga diyakini munculnya pengangguran. Karena bersikap masa bodoh, malas, tidak memiliki semangat sehingga menyulitkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tak kalah penting, kurangnya keterampilan. Faktor ini juga menjadi penyebab munculnya kemiskinan. Adanya standar-standar tertentu untuk mendapatkan pekerjaan, membuat seseorang yang tidak memiliki keterampilan, terjebak di ranah kemiskinan.
Persoalan-persoalan tersebut, menurut saya, menjadi persoalan paling mendasar yang harus disikapi pemerintah untuk mencari jalan keluarnya. Pemerintah harus hadir di tengah-tengah rakyatnya, dengan mengimplementasikan program-program yang jelas dan berpihak kepada rakyat. Ini menjadi tugas pemerintah untuk memberi akses dan afirmasi bagi orang miskin.
Selama akses yang dimiliki orang kaya dan orang miskin timpang, maka akan semakin banyak orang miskin baru ke depannya. Sebab, anak dari keluarga miskin akan kesulitan keluar dari ‘area’nya.
Mengutip pendapat ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, salah satu yang membuat seseorang terjebak dalam kemiskinan, adalah akses. Misalnya akses pendidikan. Orang miskin kesulitan akses internet dan teknologi, seperti yang terjadi sekarang ini, belajar melalui online, padahal tidak semua anak-anak mampu membeli pulsa paket data atau memiliki HP android. Kalau orang kaya sudah ada. Jadi harus difasilitasi. Jadi solusinya, bukan orang miskin dinikahkan dengan orang kaya, bukan janda kaya menikahi pemuda pengangguran.
Penyelesaian persoalan kemiskinan ada di negara. Jadi tidak perlu ikut campur tangan dengan siapa seseorang harus menikah.
Strategi politik politisi menjadikan isu kemiskinan sebagai isu penting dalam meraih kekuasaan sebagai hal wajar dalam dunia politik praktis khususnya atau menganut paham pragmatisme.
Manakala politisi berhasil meraih, menduduki kursi jabatan dan mendapatkan kekuasaan selalu saja tawaran atau janji politik yang pernah disampaikan tidak dapat dibuktikan dan dipenuhi dengan baik. Masyarakat seolah ditempatkan sebagai boneka mainan politisi yang gampang ditinggalkan begitu saja atau dianggap sebagai angin berlalu yang tak usah dirisaukan atau dipeduli.
Dari pemilu ke pemilu persoalan kemiskinan tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik, justru masalah sosial seperti kemiskinan, lapangan kerja dan pengangguran semakin menguat dalam kehidupan masyarakat. Akhir nya, isu kemiskinan hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan semata dan menjadi obyek eksploitasi oleh politisi.
Marilah kita arif dalam komunikasi politik dan berinteraksi dengan masyarakat, jangan menyinggung hal-hal sensitif yang bisa memporak porandakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
*) Pekerja budaya, penikmat kopi pahit