KUTAI BARAT – Ketua DPD Lembaga Pemberantasan Korupsi (LPK) Tipikor Kalimantan Timur, Dr. Bambang, menyerukan agar majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda menjatuhkan hukuman maksimal kepada terdakwa kasus korupsi bantuan KWH Meter, Ruslan Hamzah dan Surya Atmaja. Menurutnya, perbuatan kedua terdakwa merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan publik dan hak masyarakat miskin.
“Korupsi terhadap hak orang miskin adalah kejahatan berat. Kami mendorong agar hakim menjatuhkan hukuman maksimal tanpa pengurangan, untuk memberikan efek jera,” ujar Bambang dalam keterangannya, Selasa (3/12/2024).
Berita terkait:
Kasus Korupsi KWH Meter Kutai Barat: Ruslan Hamzah Dituntut 8,5 Tahun, Kontraktor Lebih Berat
Tuntutan Berat untuk Kedua Terdakwa
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kutai Barat telah menuntut hukuman berat bagi Ruslan Hamzah, mantan Kepala Dinas Nakertrans Kubar, dengan 8 tahun 6 bulan penjara, dan Surya Atmaja, kontraktor pengadaan KWH Meter, dengan 9 tahun 6 bulan penjara.
Selain itu, keduanya diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp5,2 miliar. Jika tidak mampu membayar, Ruslan dan Surya akan menghadapi tambahan hukuman masing-masing 4,5 tahun dan 5 tahun penjara.
Dugaan Korupsi Sistemik
Kasus ini bermula dari pengadaan KWH Meter yang dianggarkan melalui APBD Kutai Barat tahun 2021, dengan total kerugian negara mencapai Rp5,2 miliar. Dari jumlah tersebut, Ruslan Hamzah hanya mengembalikan Rp50 juta dari kerugian Rp1,4 miliar yang dibebankan kepadanya.
Sementara itu, Surya Atmaja, mantan bendahara Partai Demokrat Kubar, dinyatakan bersalah memperkaya diri sendiri dan pihak lain dengan kerugian negara mencapai Rp3,7 miliar.
Bambang meminta agar Kejaksaan terus mengusut nama-nama lain yang diduga ikut menikmati aliran dana korupsi.
“Ini harus menjadi perhatian. Jangan berhenti pada dua terdakwa. Siapa pun yang terlibat, harus diadili,” tegasnya.
Peringatan Keras untuk Pelaku Korupsi
Bambang juga menekankan bahwa kasus ini merupakan ujian bagi komitmen pemberantasan korupsi yang diusung Presiden Prabowo Subianto.
“Presiden sudah menegaskan bahwa pemberantasan korupsi adalah prioritas. Penegak hukum harus membuktikan tidak ada kompromi dalam kasus ini,” tambahnya.
Ia berharap vonis maksimal dapat menjadi peringatan keras bagi pejabat lain agar tidak menyalahgunakan wewenang, terutama yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat miskin.
“Ini bukan sekadar uang. Ini soal keadilan bagi mereka yang haknya telah dirampas,” pungkas Bambang.
Sidang putusan kasus ini dijadwalkan pada 5 Desember 2024, dan masyarakat menunggu langkah tegas majelis hakim untuk menegakkan keadilan.
Paul/red
Respon (1)